Ayahku senang sekali minum kopi. Kopi yang menjadi kegemarannya adalah kopi hitam. Apa pun mereknya, beliau suka. Apalagi kopi bubuk buatan pabrik lokal dan warna kopinya agak kecoklatan. Kata ayah itu adalah kopi asli. Artinya, kopi itu dibuat tanpa campuran bahan apa pun.
Air Kopi dan Biji Kopi *) |
“Ayah, apakah ada kopi yang dibuat dengan bahan tambahan?” tanyaku kepada ayah pada suatu sore.
Ayah menjawab, “Ada, bahan-bahan itu misalnya biji kakao, pinang muda, dan beras.”
“Beras?” tanyaku heran.
“Iya, nenekmu dulu sering membuat kopi bubuk dengan campuran beras,” jelas ayahku.
“Bagaimana cara membuatnya?” tanyaku lebih lanjut.
“Begini, biji kopi dan beras dicampur, kemudian dicuci bersih. Setelah ditiriskan, kopi dan beras itu disangrai hingga berwarna coklat kehitaman. Setelah matang merata dan didinginkan, kopi dan beras yang sudah disangrai itu ditumbuk dan diayak. Kopi bubuk buatan nenek pun siap diseduh dijadikan minuman,” jelas ayahku panjang lebar.
Anganku pun melayang membayangkan nenek menumbuk kopi. Aku hanya bisa membayangkan karena nenekku sudah lama tiada.
Kopi Tumbuk **) |
“Tumben, Nisa nanya-nanya. Mau praktik bikin kopi bubuk?” tanya ayah sambil tertawa.
“Nggak, ah. Ntar nggak enak malah mubazir,” kilahku.
Sore itu, suasana hari sedikit mendung. Sang surya yang biasanya bersinar terang terlihat meredup. Bersama ayah kami berkumpul di rumah. Dari ruang tengah tercium aroma pisang goreng.
“Nisa …! Bantuin Ibu!” teriak ibu dari dapur. Aku pun bergegas ke dapur. Pisang goreng buatan ibu dibentuk seperti kipas. Warnanya kuning kecoklatan. Hmm … baunya membuat perutku minta diisi.
“Bawa ke depan. Ayahmu sudah menunggu,” perintah ibu. Rupanya ayah yang meminta digorengkan pisang.
“Ya, Bu. O ya, boleh Nisa membuatkan kopi untuk ayah?” tanyaku kepada ibu.
“Ya boleh, dong. Tapi tanya dulu ayahmu. Kamu kan belum pernah membuatkan kopi untuk beliau,” kata ibu pula.
Benar juga. Aku memang belum pernah membuatkan kopi untuk ayah. Setelah meletakkan sepiring pisang goreng di meja ruang tengah, aku pun meminta izin untuk membuatkan kopi untuk ayah.
“Nis, kopinya satu sendok makan, gula pasirnya satu setengah sendok makan saja,” pesan ayah.
“Siap, ayah!” aku pun setengah berlari menuju ke dapur. Pesan ayah aku ingat betul. Satu sendok makan kopi ditambah satu setengah sendok makan gula pasir.
“Bu! Gula pasirnya habis!” teriakku dari dapur. Ruang tengah dan dapur jaraknya tidak jauh. Ibu pasti mendengar teriakanku.
“Iya, pakai gula halus saja!” ibu menjawab dari ruang tengah.
Segelas kopi manis pun kuberikan kepada ayahku yang sudah cukup lama menunggu. Setelah itu, aku kembali asyik membaca buku cerita. Selesai menggoreng pisang, ibuku kembali menonton sinetron kesukaannya.
Ketika aku sedang asyik membaca buku, tiba-tiba terdengar gelak tawa ibu dan ayah.
“Ha … ha … ha …!” mereka berdua tergelak seakan ada hal yang sangat lucu.
“Nisa, tolong ambil toples gulanya ke sini!” perintah ibu kepadaku sambal menahan gelak.
Tanpa banyak tanya, aku pun segera ke dapur dan mengambil toples gula yang dimaksud.
“Nisa, ini bukan gula halus, Sayang,” kata ibu. Kulihat ayah masih senyum-senyum.
“Pantas ayah tidak meminum kopinya. Ini garam, Nisa, bukan gula halus,” terang ibuku.
Waduh, betapa malunya aku. Pantas mereka tergelak terbahak-bahak. Kulihat kopi di meja depan ayah masih utuh.
“Untung Ayah mencicip dulu. Kalau tidak, ayah bakalan minum air kopi garam, ha ha …!” kata ayah tidak marah.
Aku minta maaf. Dalam hati aku berjanji, mulai besok akan sering-sering membantu ibu agar tidak keliru lagi membuat kopi.
Musi Rawas, 14 September 2021
*) https://www.freepik.com/photos/coffee'>Coffee photo created by azerbaijan_stockers - www.freepik.com
**) https://medialampung.co.id/kopi-tumbuk-lesung-kwt-sehati-bukti-eksistensi-budaya/