• Diksi 1

    Halaman SDN Mataram Musi Rawas Mei 2024

  • Diksi 2

    SMP Terbuka TKB Batu Kucing Musi Rawas (Sekarang, Musi Rawas Utara)

  • Diksi 3

    Kegiatan Akhir Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9

  • Diksi 4

    Rumah Virus Literasi (RVL) Kopdar 2

  • Diksi 5

    Kota Kenangan

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kopi untuk Ayahku (Cerpen)

Ayahku senang sekali minum kopi. Kopi yang menjadi kegemarannya adalah kopi hitam. Apa pun mereknya, beliau suka. Apalagi kopi bubuk buatan pabrik lokal dan warna kopinya agak kecoklatan. Kata ayah itu adalah kopi asli. Artinya, kopi itu dibuat tanpa campuran bahan apa pun.


https://www.freepik.com/photos/coffee'>Coffee photo created by azerbaijan_stockers - www.freepik.com
Air Kopi dan Biji Kopi *)

“Ayah, apakah ada kopi yang dibuat dengan bahan tambahan?” tanyaku kepada ayah pada suatu sore.

Ayah menjawab, “Ada, bahan-bahan itu misalnya biji kakao, pinang muda, dan beras.”

“Beras?” tanyaku heran.

“Iya, nenekmu dulu sering membuat kopi bubuk dengan campuran beras,” jelas ayahku.

“Bagaimana cara membuatnya?” tanyaku lebih lanjut.

“Begini, biji kopi dan beras dicampur, kemudian dicuci bersih. Setelah ditiriskan, kopi dan beras itu disangrai hingga berwarna coklat kehitaman. Setelah matang merata dan didinginkan, kopi dan beras yang sudah disangrai itu ditumbuk dan diayak. Kopi bubuk buatan nenek pun siap diseduh dijadikan minuman,” jelas ayahku panjang lebar.

Anganku pun melayang membayangkan nenek menumbuk kopi. Aku hanya bisa membayangkan karena nenekku sudah lama tiada.


Kopi Tumbuk **)

“Tumben, Nisa nanya-nanya. Mau praktik bikin kopi bubuk?” tanya ayah sambil tertawa.

“Nggak, ah. Ntar nggak enak malah mubazir,” kilahku.

Sore itu, suasana hari sedikit mendung. Sang surya yang biasanya bersinar terang terlihat meredup. Bersama ayah kami berkumpul di rumah. Dari ruang tengah tercium aroma pisang goreng. 

“Nisa …! Bantuin Ibu!” teriak ibu dari dapur. Aku pun bergegas ke dapur. Pisang goreng buatan ibu dibentuk seperti kipas. Warnanya kuning kecoklatan. Hmm … baunya membuat perutku minta diisi.

“Bawa ke depan. Ayahmu sudah menunggu,” perintah ibu. Rupanya ayah yang meminta digorengkan pisang.

“Ya, Bu. O ya, boleh Nisa membuatkan kopi untuk ayah?” tanyaku kepada ibu.

“Ya boleh, dong. Tapi tanya dulu ayahmu. Kamu kan belum pernah membuatkan kopi untuk beliau,” kata ibu pula.

Benar juga. Aku memang belum pernah membuatkan kopi untuk ayah. Setelah meletakkan sepiring pisang goreng di meja ruang tengah, aku pun meminta izin untuk membuatkan kopi untuk ayah.

“Nis, kopinya satu sendok makan, gula pasirnya satu setengah sendok makan saja,” pesan ayah.

“Siap, ayah!” aku pun setengah berlari menuju ke dapur. Pesan ayah aku ingat betul. Satu sendok makan kopi ditambah satu setengah sendok makan gula pasir. 

“Bu! Gula pasirnya habis!” teriakku dari dapur. Ruang tengah dan dapur jaraknya tidak jauh. Ibu pasti mendengar teriakanku.

“Iya, pakai gula halus saja!” ibu menjawab dari ruang tengah. 

Segelas kopi manis pun kuberikan kepada ayahku yang sudah cukup lama menunggu. Setelah itu, aku kembali asyik membaca buku cerita. Selesai menggoreng pisang, ibuku kembali menonton sinetron kesukaannya.

Ketika aku sedang asyik membaca buku, tiba-tiba terdengar gelak tawa ibu dan ayah.

“Ha … ha … ha …!” mereka berdua tergelak seakan ada hal yang sangat lucu.

“Nisa, tolong ambil toples gulanya ke sini!” perintah ibu kepadaku sambal menahan gelak.

Tanpa banyak tanya, aku pun segera ke dapur dan mengambil toples gula yang dimaksud.

“Nisa, ini bukan gula halus, Sayang,” kata ibu. Kulihat ayah masih senyum-senyum.

“Pantas ayah tidak meminum kopinya. Ini garam, Nisa, bukan gula halus,” terang ibuku.

Waduh, betapa malunya aku. Pantas mereka tergelak terbahak-bahak. Kulihat kopi di meja depan ayah masih utuh. 

“Untung Ayah mencicip dulu. Kalau tidak, ayah bakalan minum air kopi garam, ha ha …!” kata ayah tidak marah. 

Aku minta maaf. Dalam hati aku berjanji, mulai besok akan sering-sering membantu ibu agar tidak keliru lagi membuat kopi.


Musi Rawas, 14 September 2021 


*) https://www.freepik.com/photos/coffee'>Coffee photo created by azerbaijan_stockers - www.freepik.com

**) https://medialampung.co.id/kopi-tumbuk-lesung-kwt-sehati-bukti-eksistensi-budaya/


Share:

Belum Mengumpulkan Tugas (Cerpen)

 “Aku belum mengumpulkan tugas,” kata Jehan kepada Atika.

“Kenapa? Kalau aku sudah ngumpul kemarin. Awas, loh! Jika ditunda-tunda nanti pekerjaan kita menumpuk,” timpal Atika kepada sahabatnya itu.

“Sebenarnya sih sudah aku tulis. Catatan dan jawaban soal-soal kemarin sudah aku kerjakan. Tapi, aku tidak punya paket. Jadi, aku belum bisa mengirimkan tugasnya kepada Pak Antok.”Jehan menceritakan kesulitan yang dialaminya kepada Atika.

“Nggak punya paket ya beli, dong! Jangan-jangan paketmu habis buat Tik Tok-an,” tukas Atika.

“Ngawur, aku nggak pasang aplikasi Tik Tok lah. Lagi pula, untuk apa juga Tik Tok-an. Mamak aku sedang nggak punya duit. Bapak juga belum gajian. Kata bapakku, buruh bangunan itu gajiannya hari Sabtu. Warung lotek mamakku sedang sepi,” jelas Jehan memberikan alasan.

“Tolong, dong. Tanyakan ke Pak Antok, kalau ngirim tugas dengan hape teman boleh nggak?” pinta Jehan kepada Atika.

“Oh, gitu. Bentar, ya!” Atika pun segera menulis pesan di WA. Isinya menanyakan apakah tugas Jehan boleh dikirimkan dengan HP kepunyaannya.

~Boleh, Atika. Silakan foto dan kirimkan kepada saya. Jangan lupa, catatannya diberi nama~

“Nih, baca sendiri!” kata Atika kepada Jehan sambal menyodorkan HP-nya.

“Alhamdulillaah, aku pulang dulu ya, Tik. Sesudah mandi sore aku ke sini lagi ya?” ucap Jehan sambal berpamitan.

Atika mengangguk. Perlahan punggung Jehan menghilang di kejauhan. Atika masuk ke rumah. Setelah menyimpan hapenya ke dalam lemari, ia bergegas ke belakang rumah karena ibunya memanggil.

***

Setelah mandi sore, Jehan bermaksud ke rumah Atika. Setelah mengambil masker, ia pun segera bersepeda ke rumah Atika. Rumah mereka berdua sebenanrnya tidak terlalu jauh, namun bila ditempuh dengan bersepeda bisa menghemat waktu.

“Tiiiika, Atiiika …!” panggil Jehan di depan rumah Atika.

Lama tidak terdengar jawaban. Ia pun mengulangi memanggil sahabatnya itu.

“Tiiika, Atiiika …!”

Tida juga ada jawaban. Ia pun turun dari sepeda. Perlahan, ia mendekat ke pintu rumah Atika. Lalu dengan tangannya ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

“Tok … tok … tok …! Assalaamu’alaikum!” terdengar bunyi pintu bergantian dengan salam dari Jehan.

Setelah dua kali mengetuk pintu, tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari sebelah rumah Atyka.

“Atika dibawa ke Puskesmas, Nak. Kakinya tertusuk paku dekat kandang ayam belakang rumahnya tadi,” jelas perempuan seusia neneknya.

“Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un, Atika! Terima kasih, Nek. Saya akan menyusul ke puskesmas!” seru Jehan.

Puskesmas itu tidak begitu jauh dari rumah Atika. Pusat Kesehatan Masyarakat itu masih satu kelurahan dengan tempat tinggal Atika. Jehan memacu sepedanya cepat-cepat. Ia ingin segera bertemu dengan sahabatnya.

“Semoga kaki Atika tidak parah,” batin Jehan.

Tidak lama kemudian, Jehan pun sampai di Puskesmas Mangunharjo. Setelah ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir, ia pun segera ke ruang rawat inap. Ia sudah cukup hapal. Ibunya pernah dirawat di sini ketika melahirkan adiknya.

“Bu, boleh saya bertemu dengan pasien bernama Atika?” tanya Jehan kepada petugas.

“Adik ini, siapa?” tanya petugas pula.

“Saya temannya, Bu. Tadi ke rumahnya, ketuk-ketuk pintu tidak ada orang. Kata nenek sebelah rumah, Atika dirawat di sini karena kakinya luka,” jelas Jehan.

Akhirnya, dengan diantar petugas, Jehan menemui Atika.

“Maaf, Jehan. Aku tidak bisa menolongmu,” kata Atika lirih. Bibirnya terlihat seperti sedang menahan rasa sakit.

“Nggak papa kok, Tik. Maaf kan aku juga, telah merepotkan kamu. O ya, bagaimana lukanya, Bu De?” jawab Jehan seraya bertanya kepada ibu Atika.

“Tidak apa-apa, hanya perlu dibersihkan dan dibalut agar tidak infeksi. Kalau tidak demam, besok Atika sudah boleh pulang,” jelas ibu Atika.

“O ya, katanya mau ngirim tugas ke pak guru? Sini Bu De fotokan. Atika tadi siang menceritakan kesulitanmu.” Ibu Atika menawarkan diri untuk membantu mengirimkan tugas kepada gurunya.

“Terima kasih, Bu De, tidak usah. Besok lain kali saja. Yang penting, Atika sembuh dulu,” jawab Jehan dengan sopan.

“Nah, pulangah. Nanti orang tuamu cemas. Hari ini sudah sore. Doakan Atika cepat sembuh, ya?” kata ibu Atika memberi nasihat.

“Iya, Bu De. Saya pamit dulu. Atika, aku pulang dulu, ya. Semoga cepat sembuh, sabahabatku,” kata Jehan berpamitan.


Sumber: https://blogsusanto.com/belum-mengumpulkan-tugas/

Share:

Membaca Cerpen (Cerita Pendek)

Halo, anak-anak.
Kita semua senang dengan cerita. Berikut ini saya berikan cerita pendek dengan judul:

Gara-gara Nenek Lupa


Setiap akhir tahun, sekolah Rino libur. Di saat itu, Rino, Ayah dan Ibu akan naik ke mobil dan berkunjung ke rumah Nenek Ida di desa. Nenek Ida mempunyai ladang. Rino suka sekali berlibur ke desa Nek Ida.

Setiap pertengahan tahun, sekolah Rino juga libur. Namun di saat itu, giliran Nek Ida yang berkunjung ke rumah Rino.

Begitulah cara keluarga Rino mengatur liburan. Agar tidak bosan, kadang mereka liburan di kota, kadang di desa pertanian.

Akan tetapi, di tahun ini, Nenek Ida membuat kesalahan.

“Aku yakin, saat ini, giliranku untuk liburan ke kota,” gumam Nek Ida yang mulai pelupa. Pelan-pelan, ia lalu mengemasi baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper.

Pada saat yang sama, ibu Rino juga sedang mengemasi tas. Ibu tampak tidak bersemangat. Sambil menutup tasnya, ibu Rino berkata,

“Ibu sebetulnya ingin sekali bisa liburan ke pantai. Sekaliii saja supaya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Rino dan adiknya langsung berseru setuju.

“Aku juga ingin ke pantai, Bu! Jangan ke rumah Nek Ida terus atau cuma berkeliling kota ini. Bosan. Kalau liburan ke laut, kita kan bisa berenang dan menggali pasir. Yah, Ayah, tahun ini kita liburan ke pantai, saja ya?” seru Rino bersemangat.

“Tentu saja tidak bisa, sayang,” kata ayah Rino. “Akhir tahun ini, kita akan mengunjungi Nenek seperti biasa. Jangan sampai Nenek kecewa dan bertanya-tanya kalau kita tidak datang. Tahun depan saja kalau mau ke pantai. Supaya Nenek juga sudah diberitahu jauh-jauh hari.”

Rino jadi lesu. Namun, kata-kata ayahnya ada benarnya. Nek Ida pasti sedih kalau mereka tidak datang ke pertaniannya. Rino tak ingin membuat neneknya yang baik hati itu jadi sedih

Keesokan harinya, cuaca sangat cerah. Rino, Ayah dan Ibu naik ke mobil. Tak lama kemudian, mereka sudah ada dalam perjalanan menuju peternakan Nek Ida.

Di sepanjang jalan yang agak macet dan panas, Rino masih berharap andai mereka bisa berlibur ke pantai. Karena ayah Rino mulai kehausan, ia menepikan mobil di dekat kafe pinggir jalan.

Mereka bertiga turun dari mobil. Tiba-tiba, wajah ibu Rino tampak kaget, gembira dan dengan bersemangat menunjuk ke parkiran.

"Lihat! Mobil itu mirip mobil Nenek!”

Rino dan ayah menengok. Mereka bertiga lalu melangkah pelan mendekati mobil itu. Astaga, itu memang mobil Nek Ida. Nenek bersandar di pintu mobil dan sedang menyeruput jus jeruk.

Seketika itu juga, Rino berlari dan memeluk neneknya. Ayah dan Ibu juga memeluk Nenek dan bertanya heran.

“Ibu mau ke mana?” tanya Ayah.

“Tentu saja mau ke rumah kalian!” kata Nek Ida heran. Namun ia lalu menyadari kesalahannya. “Astaga, harusnya, ini giliran kalian berlibur di pertanian, ya?” serunya.

Ibu Rino tersenyum cerah.

“Tidak apa, Bu! Sekarang, kita buat rencana baru saja. Bagaimana kalau tahun ini kita bikin perubahan. Ibu mau kalau kita berlibur ke pantai?” tanya ibu Rino penuh harap.

Wah, tak disangka, wajah Nek Ida berubah sangat ceria.

“Tentu saja Nenek mau! Nenek mau bermain air laut!” kata Nek Ida penuh semangat.

“Yieeeey… Nanti aku temani Nenek main air!” teriak Rino tak kalah girang.

Rino, Ayah dan Ibu tertawa geli melihat Nenek dan cucunya yang bersemangat. Kini, ayah Rino sibuk melihat peta jalannya.

“Hmmm! Sekarang ini, kita hanya berjarak sembilan mil dari pantai. Jadi, ayo kita ke sana sekarang!” ajak ayah Rino.

Di mobil, Nek Ida tertawa dan berkata,

“Liburan kita mungkin sudah mulai membosankan dan tercampur aduk. Makanya Nenek sampai lupa harus tetap di pertanian atau mengunjungi kalian! Syukurlah, Nenek membuat sedikit kesalahan!”

“Semua orang pernah berbuat kesalahan, Nek. Tapi, kesalahan Nenek ini sungguh menyenangkan!” kata Rino.

Mereka semua tertawa lagi. Dan ketika udara pantai yang asin mulai tercium, hati mereka semakin gembira.



Sumber cerita:
https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa


Nah, itulah cerita pendek pertama yang kita baca di blog ini, sumber cerita ada pada alamat web bobo.grid.id di atas. Kalian juga bisa berselancar di webnya anak-anak tersebut.

Nah, sebagai bukti kalian sudah baca cerpen tersebut, silakan jawab pertanyaan di bawah ini di kolom komentar di bagian bawah blog ini!

Sebutkan tokoh-tokoh cerita dalam cerpen tersebut!
Jangan lupa di akhir komen diberi nama.
















Share:

Pengikut Diksi

Beli Domain Banyak Discount

www.domainesia.com

Postingan Populer

Label

Recent Posts

Theme Support

Butuh bantuan kami untuk upload atau kustomisasi Template blog ini? Hubungi Saya dapatkan detail kustomisasi tema yang Anda butuhkan.