Berliterasi, Baca Buku (Ba-ku)
Buka Buku Baku
#KamisMenulis, #Lagerunal, #BelajarPuisi, #BukaBukuBaku
Tulisan ini diikutkan pada kegiatan #KamisMenulis Komunitas Blogger Lagerunal dengan tema "buka buku baku". Ketiga kata itu harus ada dalam tulisan yang dipublikasikan.
Kali ini, penulis mencoba membuat puisi bebas bernuansa spirit literasi.
Bububa Kakuku
Kopi untuk Ayahku (Cerpen)
Ayahku senang sekali minum kopi. Kopi yang menjadi kegemarannya adalah kopi hitam. Apa pun mereknya, beliau suka. Apalagi kopi bubuk buatan pabrik lokal dan warna kopinya agak kecoklatan. Kata ayah itu adalah kopi asli. Artinya, kopi itu dibuat tanpa campuran bahan apa pun.
Air Kopi dan Biji Kopi *) |
“Ayah, apakah ada kopi yang dibuat dengan bahan tambahan?” tanyaku kepada ayah pada suatu sore.
Ayah menjawab, “Ada, bahan-bahan itu misalnya biji kakao, pinang muda, dan beras.”
“Beras?” tanyaku heran.
“Iya, nenekmu dulu sering membuat kopi bubuk dengan campuran beras,” jelas ayahku.
“Bagaimana cara membuatnya?” tanyaku lebih lanjut.
“Begini, biji kopi dan beras dicampur, kemudian dicuci bersih. Setelah ditiriskan, kopi dan beras itu disangrai hingga berwarna coklat kehitaman. Setelah matang merata dan didinginkan, kopi dan beras yang sudah disangrai itu ditumbuk dan diayak. Kopi bubuk buatan nenek pun siap diseduh dijadikan minuman,” jelas ayahku panjang lebar.
Anganku pun melayang membayangkan nenek menumbuk kopi. Aku hanya bisa membayangkan karena nenekku sudah lama tiada.
Kopi Tumbuk **) |
“Tumben, Nisa nanya-nanya. Mau praktik bikin kopi bubuk?” tanya ayah sambil tertawa.
“Nggak, ah. Ntar nggak enak malah mubazir,” kilahku.
Sore itu, suasana hari sedikit mendung. Sang surya yang biasanya bersinar terang terlihat meredup. Bersama ayah kami berkumpul di rumah. Dari ruang tengah tercium aroma pisang goreng.
“Nisa …! Bantuin Ibu!” teriak ibu dari dapur. Aku pun bergegas ke dapur. Pisang goreng buatan ibu dibentuk seperti kipas. Warnanya kuning kecoklatan. Hmm … baunya membuat perutku minta diisi.
“Bawa ke depan. Ayahmu sudah menunggu,” perintah ibu. Rupanya ayah yang meminta digorengkan pisang.
“Ya, Bu. O ya, boleh Nisa membuatkan kopi untuk ayah?” tanyaku kepada ibu.
“Ya boleh, dong. Tapi tanya dulu ayahmu. Kamu kan belum pernah membuatkan kopi untuk beliau,” kata ibu pula.
Benar juga. Aku memang belum pernah membuatkan kopi untuk ayah. Setelah meletakkan sepiring pisang goreng di meja ruang tengah, aku pun meminta izin untuk membuatkan kopi untuk ayah.
“Nis, kopinya satu sendok makan, gula pasirnya satu setengah sendok makan saja,” pesan ayah.
“Siap, ayah!” aku pun setengah berlari menuju ke dapur. Pesan ayah aku ingat betul. Satu sendok makan kopi ditambah satu setengah sendok makan gula pasir.
“Bu! Gula pasirnya habis!” teriakku dari dapur. Ruang tengah dan dapur jaraknya tidak jauh. Ibu pasti mendengar teriakanku.
“Iya, pakai gula halus saja!” ibu menjawab dari ruang tengah.
Segelas kopi manis pun kuberikan kepada ayahku yang sudah cukup lama menunggu. Setelah itu, aku kembali asyik membaca buku cerita. Selesai menggoreng pisang, ibuku kembali menonton sinetron kesukaannya.
Ketika aku sedang asyik membaca buku, tiba-tiba terdengar gelak tawa ibu dan ayah.
“Ha … ha … ha …!” mereka berdua tergelak seakan ada hal yang sangat lucu.
“Nisa, tolong ambil toples gulanya ke sini!” perintah ibu kepadaku sambal menahan gelak.
Tanpa banyak tanya, aku pun segera ke dapur dan mengambil toples gula yang dimaksud.
“Nisa, ini bukan gula halus, Sayang,” kata ibu. Kulihat ayah masih senyum-senyum.
“Pantas ayah tidak meminum kopinya. Ini garam, Nisa, bukan gula halus,” terang ibuku.
Waduh, betapa malunya aku. Pantas mereka tergelak terbahak-bahak. Kulihat kopi di meja depan ayah masih utuh.
“Untung Ayah mencicip dulu. Kalau tidak, ayah bakalan minum air kopi garam, ha ha …!” kata ayah tidak marah.
Aku minta maaf. Dalam hati aku berjanji, mulai besok akan sering-sering membantu ibu agar tidak keliru lagi membuat kopi.
Musi Rawas, 14 September 2021
*) https://www.freepik.com/photos/coffee'>Coffee photo created by azerbaijan_stockers - www.freepik.com
**) https://medialampung.co.id/kopi-tumbuk-lesung-kwt-sehati-bukti-eksistensi-budaya/
Belum Mengumpulkan Tugas (Cerpen)
“Aku belum mengumpulkan tugas,” kata Jehan kepada Atika.
“Kenapa? Kalau aku sudah ngumpul kemarin. Awas, loh! Jika ditunda-tunda nanti pekerjaan kita menumpuk,” timpal Atika kepada sahabatnya itu.
“Sebenarnya sih sudah aku tulis. Catatan dan jawaban soal-soal kemarin sudah aku kerjakan. Tapi, aku tidak punya paket. Jadi, aku belum bisa mengirimkan tugasnya kepada Pak Antok.”Jehan menceritakan kesulitan yang dialaminya kepada Atika.
“Nggak punya paket ya beli, dong! Jangan-jangan paketmu habis buat Tik Tok-an,” tukas Atika.
“Ngawur, aku nggak pasang aplikasi Tik Tok lah. Lagi pula, untuk apa juga Tik Tok-an. Mamak aku sedang nggak punya duit. Bapak juga belum gajian. Kata bapakku, buruh bangunan itu gajiannya hari Sabtu. Warung lotek mamakku sedang sepi,” jelas Jehan memberikan alasan.
“Tolong, dong. Tanyakan ke Pak Antok, kalau ngirim tugas dengan hape teman boleh nggak?” pinta Jehan kepada Atika.
“Oh, gitu. Bentar, ya!” Atika pun segera menulis pesan di WA. Isinya menanyakan apakah tugas Jehan boleh dikirimkan dengan HP kepunyaannya.
~Boleh, Atika. Silakan foto dan kirimkan kepada saya. Jangan lupa, catatannya diberi nama~
“Nih, baca sendiri!” kata Atika kepada Jehan sambal menyodorkan HP-nya.
“Alhamdulillaah, aku pulang dulu ya, Tik. Sesudah mandi sore aku ke sini lagi ya?” ucap Jehan sambal berpamitan.
Atika mengangguk. Perlahan punggung Jehan menghilang di kejauhan. Atika masuk ke rumah. Setelah menyimpan hapenya ke dalam lemari, ia bergegas ke belakang rumah karena ibunya memanggil.
***
Setelah mandi sore, Jehan bermaksud ke rumah Atika. Setelah mengambil masker, ia pun segera bersepeda ke rumah Atika. Rumah mereka berdua sebenanrnya tidak terlalu jauh, namun bila ditempuh dengan bersepeda bisa menghemat waktu.
“Tiiiika, Atiiika …!” panggil Jehan di depan rumah Atika.
Lama tidak terdengar jawaban. Ia pun mengulangi memanggil sahabatnya itu.
“Tiiika, Atiiika …!”
Tida juga ada jawaban. Ia pun turun dari sepeda. Perlahan, ia mendekat ke pintu rumah Atika. Lalu dengan tangannya ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.
“Tok … tok … tok …! Assalaamu’alaikum!” terdengar bunyi pintu bergantian dengan salam dari Jehan.
Setelah dua kali mengetuk pintu, tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari sebelah rumah Atyka.
“Atika dibawa ke Puskesmas, Nak. Kakinya tertusuk paku dekat kandang ayam belakang rumahnya tadi,” jelas perempuan seusia neneknya.
“Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un, Atika! Terima kasih, Nek. Saya akan menyusul ke puskesmas!” seru Jehan.
Puskesmas itu tidak begitu jauh dari rumah Atika. Pusat Kesehatan Masyarakat itu masih satu kelurahan dengan tempat tinggal Atika. Jehan memacu sepedanya cepat-cepat. Ia ingin segera bertemu dengan sahabatnya.
“Semoga kaki Atika tidak parah,” batin Jehan.
Tidak lama kemudian, Jehan pun sampai di Puskesmas Mangunharjo. Setelah ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir, ia pun segera ke ruang rawat inap. Ia sudah cukup hapal. Ibunya pernah dirawat di sini ketika melahirkan adiknya.
“Bu, boleh saya bertemu dengan pasien bernama Atika?” tanya Jehan kepada petugas.
“Adik ini, siapa?” tanya petugas pula.
“Saya temannya, Bu. Tadi ke rumahnya, ketuk-ketuk pintu tidak ada orang. Kata nenek sebelah rumah, Atika dirawat di sini karena kakinya luka,” jelas Jehan.
Akhirnya, dengan diantar petugas, Jehan menemui Atika.
“Maaf, Jehan. Aku tidak bisa menolongmu,” kata Atika lirih. Bibirnya terlihat seperti sedang menahan rasa sakit.
“Nggak papa kok, Tik. Maaf kan aku juga, telah merepotkan kamu. O ya, bagaimana lukanya, Bu De?” jawab Jehan seraya bertanya kepada ibu Atika.
“Tidak apa-apa, hanya perlu dibersihkan dan dibalut agar tidak infeksi. Kalau tidak demam, besok Atika sudah boleh pulang,” jelas ibu Atika.
“O ya, katanya mau ngirim tugas ke pak guru? Sini Bu De fotokan. Atika tadi siang menceritakan kesulitanmu.” Ibu Atika menawarkan diri untuk membantu mengirimkan tugas kepada gurunya.
“Terima kasih, Bu De, tidak usah. Besok lain kali saja. Yang penting, Atika sembuh dulu,” jawab Jehan dengan sopan.
“Nah, pulangah. Nanti orang tuamu cemas. Hari ini sudah sore. Doakan Atika cepat sembuh, ya?” kata ibu Atika memberi nasihat.
“Iya, Bu De. Saya pamit dulu. Atika, aku pulang dulu, ya. Semoga cepat sembuh, sabahabatku,” kata Jehan berpamitan.
#SeninBlogWalking 13 September 2021
#SeninBlogWalkingLagerunal |
Setiap Senin, Legerunal menggelar #SeninBlogWalking, "berjalan-jalan" dan berkomentar pada tulisan yang dikirimkan ke Grup Whatsapp. Edisi 13 September 2021 menampilkan para penulis sebagai berikut:
3. Sumarjiyati
http://81-atik.blogspot.com/2021/09/berbagi-itu-indah.html
4. Sri Sundari
https://srisundaricaturutami.blogspot.com/2021/09/berbagi-itu-wajib.html
https://jarimisterindra.blogspot.com/2020/07/mempelajari-video-editing-untuk-guru.html
Silakan pembaca berjalan-jalan dan meninggalkan komentar di sana. Semoga #SeninBW yang akan datang pengikutnya semakin banyak. Tidak menulis, kok. Setor tulisan lama pun, tidak mengapa.
Jus Jagung
Jus Jagung
Oleh Susanto
“Bu,
hari Sabtu besok aku bawa jagung rebus sekalian blender ke sekolah, ya!” kata Manto
kepada istrinya. Benar saja, pagi-pagi di hari Sabtu Manto sudah bersiap. Blender
ia masukkan di dalam bagasi motor. Jagung pipil rebus dimasukkan ke wadah dan
digantung di bawah setang motor. Sesampai di sekolah, Manto dengan ramah
mengajak teman-temannya minum jus jagung manis, jagung dari daerah Curup,
Rejang Lebong, Bengkulu.
Pada jam
istirahat, Manto bergegas dari kelas menuju kantor guru. Ia akan membuat jus
jagung manis seperti yang biasa ia lakukan di rumah. Setelah itu, ia akan bercerita tentang
manfaat jus jagung seperti yang pernah ia baca di internet.
Sampai
di kantor guru, Manto melihat rebusan jagung pipilan di dalam wadah masih
utuh. Salah seorang guru sepuh meminta maaf. Ia mengatakan bahwa mereka berterima
kasih atas oleh-oleh Manto. Namun, bukan menolak melainkan tidak terbiasa
meminum jus jagung jadi tidak ada yang mencoba membuat. Mendengar itu, manfaat jagung manis di dalam kepala Manto yang akan ia ceritakan, ambyar.
#pentigraf
Sang Robot Guru
Robot Guru
Anak orang super kaya itu piatu. Ibunya meninggal arena kecelakaan tunggal. Seperti teman-temannya, ia pun belajar daring. Wabah Corona telah menutup pintu gerbang sekolahnya. Ayahnya khawatir, anaknya tidak belajar dengan baik karena tidak ada yang mengawasi. Sementara, pekerjaannya menuntutnya meninggalkan rumah. Agar ada yang menemani anakya belajar dan bebas dari risiko tertular virus, sang ayah menyewa robot canggih untuk mendampingi anaknya menuntut ilmu.
Sang anak bukan anak biasa. Ia anak yang cerdas. Apa yang diterangkan sang robot guru dengan mudah dipahami. Setiap kali berhasil menyelesaikan kuis sang Robot Guru selalu memuji.
"Ayah, beri aku ibu lagi atau temani aku belajar!" si anak orang super kaya merengek kepada ayahnya sambil memeluk perut ayahnya yang masih terbungkus jas dan dasi. Robot guru tidak pernah marah, bahkan selalu memuji setiap berhasil menyelesaikan tantangan. Akan tetapi, senyumnya kaku dan suaranya monoton datar.
#dekonstruksi #pentigraf
https://susanto232426.gurusiana.id/article/2020/11/robot-guru-1034250